Teman Jiwa
“jadi gimana?”
pertanyaan yang semestinya bisa terjawab sejak sekian tahun silam....
“sulit sekali menganggapmu teman, karena perhatianmu istimewa layaknya pacar, sulit sekali pula menganggapmu pacar, karena kita sama-sama tidak menginginkannya.. sulit sekali menganggap..”
“Teman Jiwa”
“apa?”
“anggap saja kita adalah teman jiwa, yang meski tidak sesabar teman curhat, aku mau mendengarkan apa yang diungkapkan hatimu, meski tidak seromantis seorang pacar, aku bisa menyanyikan detak romantis untukmu, meski tidak seperfect tipe-mu, aku kompeten untuk menjagamu, mengawasimu dengan perasaan yang terkendali dan pikiran yang terformat bahwa aku hanya teman jiwamu....”
Rasanya tercekat adalah gambaran yang terlalu biasa karena itu hanya fase awal. Selanjutnya hanya ungkapan terbata untuk mengakhiri obrolan menyedihkan ini.
“Terima.. kasih.. untuk ketulusan dan kesetiaan yang selalu kau tawarkan. Perbincangan ini akan selalu kukenang seperti perbantahan kita tentang angin dan hujan....”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar